Selasa, 05 April 2011

Kisah Cinta dalam sebuah dompet

Kisah Cinta dalam sebuah Dompet

by Hotmann Saragih on Saturday, August 22, 2009 at 6:52am
Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di suatu hari yang dingin,
kakiku tersandung sebuah dompet yang tampaknya terjatuh tanpa
sepengetahuan pemiliknya. Aku memungut dan melihat isi dompet itu
kalau-kalau aku bisa menghubungi pemiliknya. Tapi, dompet itu hanya
berisi uang sejumlah tiga Dollar dan selembar surat kusut yang
sepertinya sudah bertahun-tahun tersimpan di dalamnya.

Satu-satunya yang tertera pada amplop surat itu adalah alamat si
pengirim. Aku membuka isinya sambil berharap bisa menemukan petunjuk.
Lalu aku baca tahun "1924". Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60
tahun yang lalu. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun
di atas kertas biru lembut yang berhiaskan bunga-bunga kecil di sudut
kirinya. Tertulis di sana, "Sayangku Michael", yang menunjukkan
kepada siapa surat itu ditulis yang ternyata bernama Michael. Penulis
surat itu menyatakan bahwa ia tidak bisa bertemu dengan Michael lagi
karena ibunya telah melarangnya. Tapi, meski begitu ia masih tetap
mencintainya. Surat itu ditanda tangani oleh Hannah.

Surat itu begitu indah. Tetapi tetap saja aku tidak bisa menemukan
siapa nama pemilik dompet itu. Mungkin bila aku menelepon bagian
penerangan, mereka bisa memberitahu nomor telepon alamat yang ada
pada amplop itu.

"Operator," kataku pada bagian penerangan, "Saya mempunyai permintaan
yang agak tidak biasa. Saya sedang berusaha mencari tahu pemilik
dompet yang saya temukan di jalan. Barangkali anda bisa membantu saya
memberikan nomor telepon atas alamat yang ada pada surat yang saya
temukan dalam dompet tersebut?" Operator itu menyarankan agar aku
berbicara dengan atasannya, yang tampaknya tidak begitu suka dengan
pekerjaan tambahan ini.

Kemudian ia berkata, "Kami mempunyai nomor telepon alamat tersebut,
namun kami tidak bisa memberitahukannya kepada anda." Demi kesopanan,
katanya, ia akan menghubungi nomor tersebut, menjelaskan apa yang
saya temukan dan menanyakan apakah mereka berkenan untuk berbicara
denganku. Aku menunggu beberapa menit. Tak berapa lama ia
menghubungiku, katanya, " Ada orang yang ingin berbicara dengan
anda." Lalu aku tanyakan pada wanita yang ada di ujung telepon sana,
apakah ia mengetahui seseorang bernama Hannah. Ia menarik nafas, "Oh,
kami membeli rumah ini dari keluarga yang memiliki anak perempuan
bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang lalu !"

"Apakah anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?" tanyaku.
"Yang aku ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo
beberapa tahun lalu," kata wanita itu. "Mungkin, bila anda
menghubunginya mereka bisa mencari tahu dimana Hannah, berada."

Lalu ia memberiku nama panti jompo tersebut. Ketika aku menelepon ke
sana, mereka mengatakan bahwa wanita tua itu, ibu Hannah, yang aku
maksud sudah lama meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor
telepon rumah dimana anak wanita itu tinggal.

Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor yang mereka berikan.
Kemudian, di ujung telepon sana, seorang wanita mengatakan bahwa
Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo. "Semua ini tampaknya
konyol," kataku pada diriku sendiri. Mengapa pula aku mau repot-repot
menemukan pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan surat yang
ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu? Tapi, bagaimanapun aku
menelepon panti jompo tempat Hannah sekarang berada. Seorang pria
yang menerima teleponku mengatakan, "Ya, Hannah memang tinggal
bersama kami." Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku
meminta agar bisa menemui Hannah.

"Ok," kata pria itu agak bersungut-sungut,

"Bila anda mau, mungkin ia sekarang sedang menonton TV di ruang
tengah." Aku mengucapkan terima kasih dan segera berkendaraan ke
panti jompo tersebut. Gedung panti jompo itu sangat besar. Penjaga
dan perawat yang berdinas malam menyambutku di pintu. Lalu, kami naik
ke lantai tiga. Di ruang tengah, perawat itu memperkenalkan aku
dengan Hannah. Ia tampak manis, rambut ubannya keperak-perakan,
senyumnya hangat dan matanya bersinar-sinar.

Aku menceritakan padanya mengenai dompet yang aku temukan. Aku pun
menunjukkan padanya surat yang ditulisnya. Ketika ia melihat amplop
surat berwarna biru lembut dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia
menarik nafas dalam-dalam dan berkata, "Anak muda, surat ini adalah
hubunganku yang terakhir dengan Michael." Matanya memandang jauh,
merenung dalam-dalam. Katanya dengan lembut, "Aku amat-amat
mencintainya. Saat itu aku baru berusia 16 tahun, dan ibuku
menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, ia sangat tampan. Ia seperti
Sean Connery, si aktor itu."

"Ya," lanjutnya.. "Michael Goldstein adalah pria yang luar biasa.
Bila kau bertemu dengannya, katakan bahwa aku selalu memikirkannya,
dan ...," Ia ragu untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia
berkata, "Katakan, aku masih mencintainya. Tahukah kau, anak muda,"
katanya sambil tersenyum. Kini air matanya mengalir, "Aku tidak
pernah menikah selama ini. Aku pikir, tak ada seorang pun yang bisa
menyamai Michael."

Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan selamat tinggal. Aku
menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika melangkah keluar pintu,
penjaga di sana menyapa, "Apakah wanita tua itu bisa membantu anda?"
Aku sampaikan bahwa Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk, "Aku
hanya mendapatkan nama belakang pemilik dompet ini. Aku pikir, aku
biarkan sajalah dompet ini untuk sejenak. Aku sudah menghabiskan
hampir seluruh hariku untuk menemukan pemilik dompet ini."

Aku keluarkan dompet itu, dompet kulit dengan benang merah di sisi-
sisinya. Ketika penjaga itu melihatnya, ia berseru, "Hei, tunggu
dulu! Itu adalah dompet Pak Goldstein! Aku tahu persis dompet dengan
benang merah terang itu. Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku sendiri
pernah menemukan dompet itu tiga kali di dalam gedung ini." "Siapakah
Pak Goldstein itu?" tanyaku. Tanganku mulai gemetar. "Ia adalah
penghuni lama gedung ini. Ia tinggal di lantai delapan. Aku tahu
pasti, itu adalah dompet Mike Goldstein. Ia pasti menjatuhkannya
ketika sedang berjalan-jalan di luar."

Aku berterima kasih pada penjaga itu dan segera lari ke kantor
perawat. Aku ceritakan pada perawat di sana apa yang telah dikatakan
oleh si penjaga. Lalu, kami kembali ke tangga dan bergegas ke lantai
delapan. Aku berharap Pak Goldstein masih belum tertidur. Ketika
sampai di lantai delapan, perawat berkata, "Aku pikir ia masih berada
di ruang tengah. Ia suka membaca di malam hari. Ia adalah pak tua
yang menyenangkan. "

Kami menuju ke satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Di
sana duduklah seorang pria membaca buku. Perawat mendekati pria itu
dan menanyakan apakah ia telah kehilangan dompet. Pak Goldstein
memandang dengan terkejut. Ia lalu meraba saku belakangnya dan
berkata, "Oh ya, dompetku hilang!" Perawat itu berkata, "Tuan muda
yang baik ini telah menemukan sebuah dompet. Mungkin dompet anda?"

Aku menyerahkan dompet itu pada Pak Goldstein. Ia tersenyum gembira.
Katanya, "Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh tadi sore. Aku akan
memberimu hadiah." "Ah tak usah," kataku. "Tapi aku harus
menceritakan sesuatu pada anda. Aku telah membaca surat yang ada di
dalam dompet itu dengan harap aku mengetahui siapakah pemilik dompet
ini." Senyumnya langsung menghilang. "Kamu membaca surat ini?" "Bukan
hanya membaca, aku kira aku tahu dimana Hannah sekarang."

Wajahnya tiba-tiba pucat. "Hannah? Kau tahu dimana ia sekarang?
Bagaimana kabarnya? Apakah ia masih secantik dulu? Katakan, katakan
padaku," ia memohon. "Ia baik-baik saja, dan masih tetap secantik
seperti saat anda mengenalnya, " kataku lembut. Lelaki tua itu
tersenyum dan meminta, "Maukah anda mengatakan padaku dimana ia
sekarang? Aku akan meneleponnya esok." Ia menggenggam tanganku,
"Tahukah kau anak muda, aku masih mencintainya. Dan saat surat itu
datang, hidupku terasa berhenti. Aku belum pernah menikah, aku selalu
mencintainya. " "Michael," kataku, "Ayo ikuti aku."

Lalu kami menuruni tangga ke lantai tiga. Lorong-lorong gedung itu
sudah gelap. Hanya satu atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan
kami menuju ruang tengah di mana Hannah masih duduk sendiri menonton
TV. Perawat mendekatinya perlahan. "Hannah," kata perawat itu lembut.
Ia menunjuk ke arah Michael yang sedang berdiri di sampingku di pintu
masuk. "Apakah anda tahu pria ini?" Hannah membetulkan kacamatanya,
melihat sejenak, dan terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun.
Michael berkata pelan, hampir-hampir berbisik, "Hannah, ini aku,
Michael. Apakah kau masih ingat padaku?" Hannah gemetar, "Michael!
Aku tak percaya. Michael! Kau! Michaelku!" Michael berjalan perlahan
ke arah Hannah. Mereka lalu berpelukan. Perawat dan aku meninggalkan
mereka dengan air mata menitik di wajah kami.

"Lihatlah," kataku. "Lihatlah, bagaimana Tuhan berkehendak. Bila Ia
berkehendak, maka jadilah." Sekitar tiga minggu kemudian, di kantor
aku mendapat telepon dari rumah panti jompo itu. "Apakah anda
berkenan untuk hadir di sebuah pesta pernikahan di hari Minggu
mendatang? Michael dan Hannah akan menikah!" Dan pernikahan itu,
pernikahan yang indah. Semua orang di panti jompo itu mengenakan
pakaian terbaik mereka untuk ikut merayakan pesta. Hannah mengenakan
pakaian abu-abu terang dan tampak cantik. Sedangkan Michael
mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. Mereka menjadikan aku sebagai
wali mereka.

Rumah panti jompo memberi hadiah kamar bagi mereka. Dan bila anda
ingin melihat bagaimana sepasang pengantin berusia 76 dan 79 tahun
bertingkah seperti anak remaja, anda harus melihat pernikahan
pasangan ini. Akhir yang sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak
pernah padam selama 69 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar