Selasa, 05 April 2011

Bisakah kita belaja rhipnotis dari sinetron??

Bagi anak ke dua saya, sekalipun masih kelas 1 SD, komputer sama sekali bukan merupakan benda asing buatnya. Bagaimana tidak, sejak lahir “procot”, anak-anak sepantaran dia tentunya memang sudah melihat komputer di RS, di rumah lihat ortunya pakai komputer, demikian pula di sekolahnya.
Salah satu hal yang kamipun sempat dibuat takjub, sedikitpun ia tidak merasa kesulitan berganti perangkat dari PC ke Mac, seolah tidak ada bedanya kedua platform ini. Padahal, teman-teman saya perlu beberapa bulan untuk familier dan nyaman pindah ke Mac. Maklum, awalnya kami juga pakai PC, namun kami sudah jadi Mac Lover selama 6 tahun terakhir ini.
Saat mengamati dia menggunakan komputer, yang juga menakjubkan adalah kami praktis hanya mengajarkan menyalakan, penggunaan dasar, dan mematikan. Selebihnya ia bisa ‘ngerti dan pakai sendiri. Saya yakin, bukan hanya anak saya saja yang demikian. Mungkin, Andapun teringat pada anak Anda atau keponakan Anda, saat membaca tulisan ini. Kalau Anda perhatikan, saat bermain games komputer, Nintendo, Wii, Xbox dan sejenisnya, pasti anak-anak itu lebih jago dibandingkan kita dalam memahami cara permainan dan tombol-tombol bahkan yang paling rahasia sekalipun, tanpa membaca manual. Benar-benar pembelajar intuitif…!
Waktu jaman netbook, kamipun sempat tergoda memiliki Asus EEEPC (netbook trendsetter) yang OSnya berbasis Linux. Si anakpun tidak ada kesulitan menggunakannya lho. Bahasa icon dan grafis sungguh mempermudah pengoperasiannya. Demikian pula sekarang, saat jaman tablet, bahkan anak ketiga yang berumur 15 bulanpun bisa menyalakan iPad, menggeser halaman untuk menemukan icon KidsSongHD, dan memencet icon sehingga mengaktifkan tombol musik nyanyian “If you happy and you know it, clap your hand… plok plok!”. Wis pokoke bagi anak sekarang, mengoperasikan komputer itu ya semuanya lancar jaya.
Sekolah jelas berkontribusi besar dalam penguasaannya di dunia perkomputeran. Lha gimana pe-er disekolahnya saja ditugaskan dengan cara harus mengunduh soal dari internet. Waduh, kontras bener dibandingkan dengan dunia orangtuanya ketika masih muda dulu. Bahkan, dalam mengerjakan pe-er pun, ia sudah menggunakan Google untuk mencari bahan artikel dan gambar-gambar.
Ohya, tunggu bentar, jadi ingat saya. Agar si anak lebih belajar bersyukur, maka kami sering menceritakan mengenai jaman kami masih muda dulu. Melalui dongeng sebelum tidur, kami ceritakan bahwa kami pertama kali melihat komputer pada usia 17 tahunan, di kelas 2 SMA. Dan baru bisa komputer 4 tahun kemudian, saat tahun ke 3 di perguruan tinggi. Bahkan sayaceritakan pula bahwa  waktu itu harus pakai dua disket untuk kerja dengan PC.
Bagi anak-anak saya, kisah kedua ortunya sungguh tidak masuk akal, sulit dipahami sebagai suatu realitas. Bagaimana mungkin kalau nggak bisa komputer…? Terus Papanya dulu kalau ngerjakan pe-er dari sekolah bagaimana? Terus kalau main games bagaimana? Di dunianya, keberadaan komputer adalah suatu kelumrahan (keniscayaan). Komputer adalah bagian dari dia membangun konstruk “model dunia” yang dia pahami dari kecil. Sebab sejak lahir sudah ada komputer, itulah dunia yang dia temui. Dunia yang sungguh berbeda dengan dunia ayah-ibunya, yang saat kami kecil dulu… semuanya serba lain. Bagi kami, benda bernama komputer barulah memberkas dan membekas di usia dewasa.
Di kepala saya, komputer adalah alat kerja, karena sejak awal saya mengenal komputer seperti itu. Orang tua saya menggunakan uang pesangon pension untuk beli komputer, demi anak-anaknya melek komputer dan bisa skripsi lancar. Sampai hari ini saya pakai komputer untuk kerja, itulah model dunia saya . Komputer nyaris jarang sekali untuk games. 98% kerja : 2% games.
Dengan berbasis pemahaman komputer sejak dini, anak-anak sekarang tumbuh besar dengan akses luar biasa terhadap informasi. Realitas ‘model dunia’ yang mereka miliki tentang akses informasi tidak lagi cupet / sempit, bahkan mungkin malah terlalu luas. Bagi anak sekarang, rasanya mau minta info apapun, tinggal nyuruh ke Mbah Google atau Kakek Wikipedia. Kurang sedetik, semua terjawab. Ini riil lho, bukan sinetron….
Lha, kalau ngomongin soal Sinetron, jadi ingat pas minggu lalu saya mengunjungi rumah saudara.  Selepas Maghrib kami meluncur ke rumahnya dan sesampai di rumahnya, rupanya ia sedang nonton Sinetron TV dengan anak perempuan dan pembantunya. Di rumah saudara saya ini memang ada beberapa TV, dan salah satunya yang paling besar diletakkan di ruang tamu. Sungguh kontras dengan kebiasaan di rumah saya. Tak seorangpun nonton Sinetron, apalagi kami suami istri, lha wong nonton TV saja nyaris nggak pernah. TV di rumah yang nonton cuma anak, dengan satu saluran : Playhouse Disney, saluran pendidikan anak berbasis hiburan, dan tanpa iklan.
Saya amati kebiasaan di rumah saudara saya ini memang tipikal, malam itu, terlihat jelas bahwa sinetronnya memang luar biasa efeknya pada mereka. Ketiga orang di ruangan itu (Ibu-ibu 50 tahunan, Anak 20 tahunan, Pembantu), benar-benar terpukau mengikuti sinetron ini. Ngomong-ngomong kata ‘terpukau’ merupakan kata ganti dari terhipnotis khan… Anda pasti sudah pernah dengar, bahwa dalam bahasa Melayu, ilmu hypnosis juga disebut ilmu pukau/kesima.
Bagi pembelajar Hypnosis, tentunya kita mengetahui tanda-tanda trance (secara konsep trance yang tradisional). Dan seluruh tanda-tanda trance yang cukup dalam bahkan terlihat nyata mewarnai di ketiga pemirsa sinetron ini. Ketiga orang ini terlihat duduk dalam posisi rileks, dan terhanyut ikut mengalami Delusi Perasaan : ikut sedih atas masalah yang menimpa si Lakon Utama (red. Delusi : ekspresi kepercayaan yang dimunculkan kedalam kehidupan nyata). Ikut marah-marah dan ngomel saat si jahat melakukan niat jahatnya. Bahkan sampai ke gerakan fisik yang mengepalkan tangan, nabokin bantal kursi, saking gemesnya. Benar-benar delusi kinestetik! Bagi pembelajar Hypnosis, Anda ingat, bahwa Delusi Kinestetik berada sekitar skala kedalaman trance 17 – 19 dalam Davis Husband Scale (medium trance bagian akhir menjelang deep trance). Mantap khan!
Lha semua pembelajar Hypnosis pasti juga ngerti, bahwa dalam kondisi trance, seorang lebih sugestif pada suatu saran / sugesti. Sebab, bagian kritis (critical faculty) di pikiran Anda sudah tidak lagi dominan, jadi pikiran Anda sekarang sudah tidak selektif lagi. Lebih ngerinya lagi, saat nonton sinetron, Anda tidak akan pernah tahu, bagian mana dari isi percakapan sinetron / skenarionya itu yang akan masuk sebagai saran / sugesti ke bawah sadar. Ya kalau kalimat yang baik, lha kalau yang buruk? Plus lagi ditambah sugesti iklan-iklan yang membordir secara Audio-Visual untuk membuat Anda menjadi konsumtif. Anda pasti pernah khan, duduk demikian rileksnya, dan perhatian terserap sepenuhnya ke layar kaca di depan Anda, dan sekarang benar-benar tidak lagi menyadari apapun disekitar Anda. Sehingga tiba-tiba Anda teringat 2 kata “Belajar NLP !” Dengan saya… katakan hal ini maka Anda langsung ingat bahwa belajarNLP akan membuat Anda mudah mengetahui bahwa itu adalah proses trance.
Tentunya mudah untuk Anda bayangkan, berapa banyak keluarga, yang membiarkan anaknya dari usia kecil sudah nonton sinetron. Dan orang tuanya, bahkan tanpa menyadari menunjukkan / mengajari cara untuk trance, saat nonton sinetron, dengan bertindak dan bereaksi bahwa seolah sinetron itu hal yang riil. Ingat, anak adalah modeler yang alami, Anda pasti tahu bahwa anak suka meniru gaya si ortu dalam berprilaku kan…
Well, jika kita konstrukkan dalam model hypnosis, maka apa yang terjadi ?
  1. Tubuh rileks nyaman di sofa, fokus penuh dalam nonton sinetron secara asyik masyuk, sangat berpotensi membuat masuk trance.
  2. Perilaku ini diulang-ulang, sehingga akan menjadi anchor (pemicu otomatis): Sinetron > memicu trance.
  3. Dalam kondisi trance, bawah sadar lebih mudah dipengaruhi, karena pikiran sadar yang kritis sudah kehilangan filternya.
  4. Masuklah pesan-pesan yang tidak bisa diketahui yang mana saja. Kalau pesan yang baik masuk, alhamdulllah. Bagaimana kalau pesan yang tidak dikehendaki yang masuk ke bawah sadar?
    • Iklan ini itu, pakailah ini itu, beli ini itu, borong ini itu.
    • Pesan yang dikatakan oleh penjahat di Sinetron mengatakan “Bunuh Saja!”, “Bakar Saja!”, “Racuni Saja!”, “Rebut saja hartanya!”, “Istri Sialan!”  “Suami tak tahu diuntung!” (Ingat, dalam kondisi trance, kalimat apapun yang berintonasi perintah, berpotensi sangat besar menjadi Suatu Sugesti yang powerful. Dalam kajian NLP dan Conversational Hypnosis hal ini dikenal dengan istilah ‘embedded command & tonality marking’)
  5. Berbagai pesan ini bagaikan sugesti hypnosis yang akan berpotensi mempengaruhi perilaku (post hypnotic suggestion).
  6. Bagi seorang anak kecil, menonton sinetron tiap hari, maka ini akan menjadi realitas yang membentuk ‘model dunia’ baginya. Si anak akhirnya tidak  bisa membedakan, mana yang riil dan mana yang khayal, konstruksi ‘Model Dunia Sinetron’ akhirnya menjadi konstruksi ‘Model Dunia Riil’ untuk mereka, yang mempengaruhi cara pandangnya pada dunianya. Saya yakin, tanpa saya uraikan, Anda bisa menilai sendiri, seperti apa saja ‘model dunia sinetron’ yang bisa jadi berbahaya jika dianggap seorang anak-anak sebagai ‘model dunia riil’. Kira-kira seperti apa kelak, anak-anak yang dibesarkan dengan model dunia Sinetron ini dalam melihat konflik rumah tangga, dalam melihat pembagian warisan, dalam melihat persaingan mendapatkan pacar, dalam melihat persaingan karier, dan sebagainya? Silahkan dikaji sendiri…

Baiklaaaah…
Tentu saja, Anda tidak harus seperti saya dan keluarga yang lantas segera ambil keputusan untuk Berhenti nonton Sinetron dari sekarang. Mungkin terlalu drastis, dan anda perlu pertimbangkan dulu apakah memang bijak saat Anda Langsung berhenti nonton Sinetron apapun sekarang.
Memang jika dilihat pada jam tayangnya, Sinetron berbarengan dengan jam belajar seorang anak sekolah, sehingga tidak heran kalau ada yang juga keluarga yang akhirnya ikuti anjuran untuk  Larang Anak-anak Nonton Sinetron. Umumnya kalau saya tanya, mereka menjawab, Karena cintai Anak, mereka akhirnya Larang anak-anak nonton Sinetron karena kuatir anak nggak kerjakan PR. Nah, sebelum Anda Putuskan larang keluarga nonton Sinetron, lihat dulu bagaimana situasi dan kondisi di keluarga Anda. Toh, Sinetron juga mengajarkan pula hal-hal yang positif kok. Moral ceritanya seringkali bagus, mungkin jika waktu Anda berlimpah, bisa dampingi Anak Anda.
Namun toh, apabila Anda akhirnya Putuskan Tidak Nonton Sinetron Lagi, dan juga memilih memutuskan Larang Anak Anda Nonton Sinetron, maka Anda harus yakin, bahwa ini bukan karena tulisan ini, namun karena keputusan Anda sendiri berdasarkan azas baik buruk secara kontekstual di keluarga Anda.
Jadi pada akhirnya ketika Anda putuskan tidak lagi nonton Sinetron apapun, dan mengatur Anak untuk tidak boleh nonton Sinetron lagi. Anda sudah mempertimbangkan semua aspek dan bukan sekedar ikut-ikutan trend sesaat. Namun karena Anda putuskan dari hati secara bulat, dan yakin 100%.
Di rumah saudara saya tadi, sang suami sampai perlu beli TV sendiri, saking sudah capeknya melihat istri dan anak-anaknya yang demen banget nonton Sinetron. Sang suami lebih suka nonton bola sampai malam-malam, dan itupun juga bagi istrinya dianggap sudah terhipnosis oleh benda bulat itu. Tentu saja dalam tulisan ini saya tidak ingin berpendapat bahwa Sinetron itu buruk efeknya, sebab mengajarkan cerminan kehidupan yang palsu… bukanlah tujuan sinetron itu. Setidaknya Sinetron memberikan penghiburan dan memberi bius mimpi-mimpi indah di saat kehidupan riil tidak seperti yang diharapkan beberapa orang. Sinetron memberikan kesempatan mengumpat, mencela, mencaci maki, dan membuat seseorang merasa dirinya berwatak lebih baik daripada tokoh jahat di dalamnya.
Jadi ingat pula, di keluarga saudara saya itu, bahkan trend bajunya dan mukena-nya pun mengikuti model di Sinetron. Di Tanah Abang, konon dijual baju-baju dengan sebutan yang sama dengan judul Sinetron. Luar biasa, efek samping dari bisnis Sinetron… Tidak hanya trend baju, bahkan pembicaraan di keluarga itu sehari-haripun diwarnai dengan menggunjingkan isi dan kelanjutan cerita Sinetron, dan malah terkadang mempertengkarkan apa yang akan terjadi, apa yang sebanarnya, dan sebagainya, bak membicarakan kehidupan yang asli saja. Mungkin kalau Ahmad Albar saat ini masih muda, maka judul lagunya bukanlah “Dunia Ini Panggung Sandiwara”, namun akan menjadi “Dunia Ini Panggung Sinetron”. Lha wong, pembantu di rumah saudara saya itu saja apal kok, nama-nama setiap peran dalam Sinetron, termasuk jam tayangnya.
Kondisi itu, benar-benar kontras berbeda sekali dengan rumah kami, yang benar-benar sepi-ritual. Ya, rumah kami benar-benar ‘sepi’ ritual nonton TV. Lho, terus apa kegiatan anak-anak di rumah kami pada jam 18.30 malam ke atas? Salah satunya adalah main berbagai permainan game-board, anak-anak saya senang main permainan Monopoly, Cashflow For Kids, Lego, dan terkadang bermain monopoly menggunakan komputer. Tentu saja , permainannya sudah di screening, yang memberikan pendidikan. Misal, dalam bermain Monopoly saja, kita mengajarkan, apa arti asset dan liability seperti ajaran Robert Kiyosaki. Kita tidak menekankan tujuan untuk melakukan monopoly, namun menekankan untuk mengerti, mengapa nilai tanah berbeda-beda di berbagai tempat. Kenapa nilai tanah bisa naik, jika kita kuasai seluruh kompleks. Apa arti hipotek, dan untung ruginya. Kenapa lebih menguntungkan menyewakan rumah, daripada lahan kosong, dan kenapa lebih baik suatu hotel daripada 4 rumah!
Untuk mengisi waktu anak-anak dengan hal positif, belakangan ini istri saya kembali menggiatkan anak-anak untuk mengaji di tetangga. Banyak untungnya tinggal di kawasan Menteng Dalam, selain dekat kemana-mana, juga banyak sekali Majlis Taklim dan tetangga yang profesinya Guru Mengaji.
Ohya, untuk mengisi waktu, kami juga suka main tebak-tebakan di rumah, belajar matematika dan memory dengan cara metode visualisasi. Seru deh…
Di hari Sabtu & Minggu, selain olah raga berenang, kita mengijinkan anak-anak bermain game online kegemaran mereka, namanya “Club Penguin”.  Tak bisa dihindari, komputer dan internet memang memang sudah menjadi realitas riil bagi anak-anak sekarang. Tiap Sabtu dan Minggu mereka pasti menyempatkan diri memainkan game online di komputer rumah, sehingga kamipun menyempatkan diri untuk ikut memonitor apa isi dari game ini. Rupanya ini salah satu bentuk social networking gaya anak-anak berbasis grafis (kartun penguin). Para pemain harus login di network ini dulu, dan lantas bersosialiasasi di dalamnya. Ternyata permainan di dalamnya bermacam-macam, sebagian besar sih mengajarkan hal yang baik.
Di Club Penguin ini, sayangnya ada satu games yang saya kurang cocok, yakni semacam fighter (sabung / tanding) dengan lempar-lemparan ini itu. Kami meminta anak-anak kami tidak memainkan yang ini.
Disisi lain, hal yang saya suka di Club Penguin ini adalah adanya Lounge, dimana anak belajar bersapa dan berbicara satu sama lain. Mayoritas berbahasa Inggris tentu saja. adi in makinmelatih mereka berkomunikasi dalam bahasa itu. Selain itu, ada juga Library Room, disini tempat paling favorit bagi mereka. Saya pun senang melihat ia belajar membaca dan berbagai pengetahuan melalui library room ini.
Saat awal-awal kami memasuki dunia social networking, anak-anakpun juga minta dibuatin account Facebook. Namun supaya bisa termonitor dengan baik, maka oleh istri saya hanya dibuatin Page (Halaman) saja, yang loginnya tetap harus melalui account istri saya. Senang, memiliki istri yang bijaksana seperti itu.
Dulu saya menggunakan Facebook untuk membagi pengetahuan mengenai NLP dan Conversational Hypnosis secara gratis pada masyarakat. Sekarang saya memilih memakai Twitter, karena efek viral-nya. Efek viral, adalah efek berantai, yakni adanya fungsi re-tweet. Yakni, tweet kita di tweet ulang oleh follower kita. Sehingga jangkauan pembelajaran NLP dan Conversational Hypnosis makin luas, dalam mencerahkan pemikiran manusia. Selain itu, kelebihan lain dari Twitter adalah, Tweet-nya bisa pula dikoneksikan sehingga otomatis menjadi Status di Facebook. Jadi, sekali kerja, langsung beberapa pulau terlampaui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar